>tawa dari Desa taba penanjung
Tawa dari Taba Penanjung
Di tengah krisis moneter yang mengguncang negeri ini, ketika banyak perusahaan gulung tikar dan para pekerja dipulangkan tanpa pesangon, aku hanya memohon pada Allah:
“Ya Allah, aku tak butuh pekerjaan yang bergengsi. Berilah aku pekerjaan yang aku sukai hingga aku tak merasa lelah menjalaninya.”
Saat itu aku tinggal di kota Bengkulu, bekerja sebagai guru tidak tetap di sebuah sekolah teknologi...
“Allah tidak tidur. Lakukanlah kebaikan sebanyak-banyaknya, dan Allah akan menolongmu.”
- Musafir Engineering
Tawa dari Taba Penanjung
Di tengah krisis moneter yang mengguncang negeri ini, ketika banyak perusahaan gulung tikar dan para pekerja dipulangkan tanpa pesangon, aku hanya memohon pada Allah:
“Ya Allah, aku tak butuh pekerjaan yang bergengsi. Berilah aku pekerjaan yang aku sukai hingga aku tak merasa lelah menjalaninya.”
Saat itu aku tinggal di kota Bengkulu, bekerja sebagai guru tidak tetap di sebuah sekolah teknologi, dan malamnya mengajar di fakultas teknik di universitas swasta. Aku senang mengajar, tapi aku sadar, aku tak benar-benar menjalaninya dengan jiwa. Bahkan ketika ada tawaran menjadi calon anggota legislatif, aku menolak. Itu bukan jalanku.
Pada suatu hari libur, aku pergi ke pasar tradisional dan berkenalan dengan seorang tukang servis jam. Cerita-cerita tentang jam rusak membuat hatiku tertarik. Aku membeli beberapa jam rusak, jam baru, dan seperangkat alat. Aku yakin, di balik jam-jam itu hanya ada roda gigi, motor listrik kecil, dan prinsip mekanik—ilmu yang telah lama aku pelajari.
Sesampainya di rumah, aku membongkar semua jam itu. Aku menganalisa, mencoba, dan berlatih. Dalam waktu kurang dari 12 jam, aku sudah memahami seluruh jenis jam—baik bertenaga baterai maupun kinetik. Besoknya, pulang dari mengajar, aku tak pulang ke rumah. Aku berangkat ke sebuah desa di luar kota: Taba Penanjung.
Di desa itu aku berlaku santun, memperkenalkan diri sebagai teknisi jam. Mereka menyambutku dengan hangat, karena banyak dari mereka yang menyimpan jam rusak bertahun-tahun. Aku memperbaiki satu per satu. Karena tidak ada warung makan di desa, saat tiba waktu makan, mereka bahkan mengajakku makan bersama. Kehangatan yang tak pernah kulupa.
Salah satu jam yang paling menantang hari itu adalah jam Mido Kinetik asal Swiss. Aku belum punya alat pembuka kacanya, karena jam itu hanya bisa dibuka dari atas. Tapi aku mencoba dengan hati-hati. Total hari itu aku memperbaiki antara 15 hingga 17 jam. Uang bersih yang kudapat: Rp150.000.
Hari itu aku menyatakan dalam hatiku: “Aku bisa cari uang. Aku ini orang teknik.” Padahal sebelumnya aku pernah bekerja di perusahaan dengan gaji tetap yang pantas. Tapi aku tak pernah seberani itu untuk mengakui bahwa aku bisa berdiri sendiri.
Sampai di rumah malam itu, semua orang bingung melihatku tertawa sendirian. Mereka tak tahu bahwa dalam tawa itu ada rasa syukur dan haru yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Aku tahu, hari itu Allah menjawab doaku.
“Allah tidak tidur. Lakukanlah kebaikan sebanyak-banyaknya, dan Allah akan menolongmu.”
Taba Penanjung menjadi saksi bisu lahirnya kembali seorang musafir teknik. Bukan karena gelar, bukan karena gaji tetap, tapi karena keyakinan bahwa ilmu, jika disertai dengan cinta dan ikhlas, akan selalu menemukan jalannya.
Kisah Seorang Musafir Teknik dari Jambi
Lalu aku datang.
Bukan sebagai penyelamat.
Tapi sebagai seseorang yang bersedia mencoba,
seseorang yang tidak takut alat baru, walau belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku buka panel satu per satu.
Kuamati indikator. Kuukur tegangan.
Kudengarkan suara-suara kecil yang biasanya tidak diperhatikan.
Setelah satu jam... alat itu hidup kembali.
Panel menyala. Data muncul.
Dan tiba-tiba... terdengar sorak kecil dalam bahasa asing.
Seorang bule Jerman — ilmuwan wanita yang selama ini berjuang untuk melanjutkan penelitiannya berlari kecil ke arahku dan... memelukku.
Bukan karena cinta. Tapi karena harapan.
Bukan karena aku tampan. Tapi karena aku memperjuangkan sesuatu yang nyaris hilang.
Lalu datang seorang penerjemah, dengan polosnya bertanya:
“Abang suka makan apa?”
Aku tersenyum dan menjawab, “Saya kenyang.”
Dia tertawa, tapi heran.
“Kok bisa kenyang? Belum makan, kan?”
Aku jawab dengan mantap:
“Karena pekerjaan saya berhasil.”
Dan saat itu...
semua beban hari ini terasa ringan.
Seolah makanan terbaik adalah keberhasilan.
Dan pelukan paling berharga adalah kepercayaan dari orang yang awalnya tidak mengenalmu.
📝 Catatan Harian:
Aku mungkin hanya teknisi,
Tapi ketika aku menyentuh peralatan,
Aku menyentuh harapan.
Dan ketika aku menyelesaikan masalah,
Aku menyalakan semangat manusia lain.
potongangan bait lagu yang berjudul,
Always remember us this way
Saat kamu tak bicara
aku tahu semua jawabnya
Dan dunia jadi sunyi
Aku ingin jadi kenangan
Yang tak pernah pudar
Saat kamu mengingat cinta
aku ada dalam ingatan mu
Assalamu’alaikum...
Aku tahu, hidup kita sudah berjalan jauh di jalur yang berbeza tapi tak takdirku untuk menggenggam tanganmu sampai akhir.
Tapi izinkan aku menulis ini, bukan untuk mengusik…
melainkan untuk mengenang, dan mendoakan.
Mungkin kamu sudah lupa, sore itu kau bersamaku saat mak sedang berada di belakang rumah?
Saat itu Mak berjalan menuju kita dan aku menyuruhmu cepat cepat bersembunyi di balik pintu karena Makku tiba-tiba datang dari belakang rumah. dan aku mengatakan pada Mak siapa yang bersembunyi di balik pintu dan Mak lansung memeriksanya. saat itu aku melihat kau dan Mak kita semua tertawa girang. Aku melihat perubahan pada dirimu tadinya cemas sekarang berubah menjadi tawa dan bahagia, karena kau baru sadar keluaga ku iklas menerima mu
Itu adalah hari paling lucu dan indah yang pernah aku simpan di hatiku.Hari ketika aku sadar, aku mencintaimu bukan karena siapa kamu di luar,
tapi siapa kamu di dalam — wanita desa yang sederhana, tulus, dan apa adanya.
Tapi kita tahu... hidup tak selalu memihak perasaan.
Ada salah paham di antara kita yang tak pernah selesai.
Waktu berlalu. Aku menikah lebih dulu.
Tapi hatiku... belum sepenuhnya pergi.
Dan saat aku tahu kamu tertinggal di desa,
aku tak tega membiarkanmu terdiam di tempat yang tak menjanjikan apa-apa.
Dengan izin orang tuamu, aku membawamu ke kota.
Aku mencarikan pekerjaan untukmu.
Aku tak bisa mencintaimu sebagai suami...
tapi aku masih bisa menjagamu sebagai seorang yang pernah berharap bersamamu.
Sekarang kamu sudah bahagia.
Kamu punya rumah besar, suami yang baik, dan anak-anak yang lucu.
Setiap kali kulihat fotomu di media sosial,
aku tak merasa cemburu.
Aku hanya merasa lega.
Di sosial media, kadang aku tulis pelan-pelan:
“Selamat bahagia untukmu...”
“Jangan tinggalkan sholat…”
Aku tak tahu apakah kamu membacanya atau tidak.
Tapi aku tetap menulisnya —
karena itu bukan untuk mendapat perhatian,
tapi untuk mengirimkan doaku yang diam.
Sekarang, aku tidak mencarimu.
Tapi aku masih mendoakanmu.
Karena dulu, kamu pernah aku sembunyikan di balik pintu…
Dan sekarang, aku sembunyikan kamu di balik hatiku yang paling dalam.
Wassalamu’alaikum— Bang Rino
Aku tak tahu kapan tepatnya aku mulai memahami arti tanggung jawab. Tapi yang pasti, sebelum aku berusia dua belas tahun, aku sudah terbiasa menyusuri hutan — bukan untuk bermain, melainkan untuk mencari kayu api.
Ibuku memasak di tungku. Dan tugas menyalakan api, memastikan ada kayu kering setiap harinya, jatuh di pundakku. Aku adalah seorang anak laki-laki yang kehilangan ayah sejak umur tujuh tahun. Yatim sejak kecil. Dan sejak saat itu, dunia seolah tak memberi banyak waktu untuk bersedih. Aku harus segera tumbuh... meski dengan kaki kecil dan hati yang belum sembuh.
Tak ada baju warna-warni dalam hidupku. Semua bajuku adalah baju sekolah. Itulah baju terbaikku. Itulah baju yang kupakai untuk segala hal: pergi mengaji, ke acara kenduri, bahkan saat membantu ibu di sawah. Baju putih-biru itu... penuh dengan kenangan, lumpur, dan peluh.
Jika hari itu aku tidak ke hutan, maka aku akan ke sawah. Menemani ibu menanam padi, atau sekadar mengusir burung-burung nakal yang mencoba mencuri benih. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bermain seperti anak-anak lain. Tapi aku tidak pernah menyesal. Karena di antara hijaunya padi dan sejuknya hutan, aku menemukan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar permainan: aku menemukan cinta.
Cinta yang lahir dari tanggung jawab.
Cinta yang tumbuh dari peluh dan air mata ibu.
Cinta yang tidak berwujud kata-kata, tapi nyata dalam kerja dan pengorbanan.
Aku tumbuh menjadi lelaki yang tidak mudah mengeluh, tapi juga tidak sembarang memberi hatinya. Mungkin karena aku tahu... cinta bukan sekadar keindahan. Karena keindahan bisa memudar, tapi cinta sejati lahir dari luka yang disembuhkan bersama, dari tangan yang tetap menggenggam meski dunia berubah.
Hari ini aku berjalan dari rumah ke rumah. Membantu orang memperbaiki barang rusak, menyapa anak-anak kecil yang mengingatkanku pada masa lalu. Mereka mungkin tak tahu siapa aku. Tapi saat mereka tertawa melihatku memperbaiki televisi atau kulkas mereka... aku tahu, aku sedang menyembuhkan hatiku yang dulu — pelan-pelan, dengan kerja yang tulus.
Dan jika suatu hari, ada seseorang yang bertanya: "Di mana rumahmu yang paling indah?"
Maka aku akan menjawab, "Rumah itu tak berdinding, tak beratap. Tapi di dalamnya, ada seorang ibu dan baju sekolah yang menjadi saksi perjuangan."
— Kisah seorang musafir kecil yang kini menjadi pelita



.png)


























